Berita  

Funco Tanipu: Fun Run di Tengah Kemiskinan Struktural Gorontalo, Simbolisme yang Terlepas dari Realitas

GORONTALO, Utinews.id — Maraknya penyelenggaraan event seperti fun run oleh pemerintah daerah di Gorontalo menuai kritik tajam dari kalangan akademisi. Sosiolog dan pendiri The Gorontalo Institute, Dr. Funco Tanipu, ST, M.A menilai kegiatan tersebut justru memperlihatkan paradoks sosial di tengah masih kuatnya kemiskinan struktural di provinsi ini.

“Secara statistik memang terlihat penurunan angka kemiskinan dalam lima tahun terakhir. Tapi itu belum berarti terjadi pergeseran signifikan dalam struktur kelas masyarakat kita,” kata Funco saat diwawancarai Utinews.id, Selasa (15/7/2025).

Iklan Utinews.id

Menurut Funco, penurunan angka kemiskinan lebih banyak merupakan interaksi antara kebijakan formal dan ketahanan sosial masyarakat. Namun, ia menekankan bahwa basis ekonomi rakyat masih rapuh.

“Kemiskinan di Gorontalo bersifat struktural dan kultural. Sangat rentan kembali naik kalau tidak ada perubahan dalam pola relasi produksi dan distribusi kesejahteraan,” ujarnya.

Struktur Ekonomi Tidak Inklusif

Gorontalo hingga kini masih masuk 10 besar provinsi termiskin di Indonesia. Funco menyebut, hal ini tak lepas dari faktor-faktor struktural seperti rendahnya akses terhadap sumber daya ekonomi dan dominasi pekerjaan informal yang berproduktivitas rendah.

“Jaringan sosial masyarakat belum terkoneksi dengan peluang pasar modern. Sementara birokrasi pembangunan kita cenderung hanya menyalurkan bantuan konsumtif, bukan modal untuk transformasi ekonomi,” jelasnya.

Ia juga menyoroti rendahnya kapital sosial produktif dan kualitas pendidikan yang cenderung mereproduksi kelas pekerja marginal. Situasi ini, menurutnya, membuat intervensi sosial dan pembangunan gagal menciptakan mobilitas kelas.

Simbolisme Tanpa Transformasi

Funco memandang event seperti fun run sebagai bentuk simbolisme kekuasaan yang kerap tidak menyentuh akar masalah sosial. Ia menilai kegiatan itu cenderung jadi etalase semu solidaritas, tanpa relevansi terhadap kebutuhan rakyat miskin.

“Kegiatan seperti ini seringkali menjadi panggung kemeriahan yang tidak membuka ruang partisipasi nyata bagi kelompok rentan. Masyarakat hanya jadi penonton, bukan pelaku,” ujar Funco.

Menurutnya, jika ingin relevan secara sosial, event publik harus mampu menjadi ruang produksi nilai ekonomi.

“Misalnya dengan melibatkan pedagang kecil, pemuda lokal, atau pekerja harian dalam proses produksi dan distribusi manfaat event. Dengan begitu, terjadi mobilisasi modal sosial yang bisa dikonversi menjadi kapital ekonomi,” tambahnya.

Perlu Desain Pro-Rakyat

Funco mengajak pemerintah untuk belajar dari praktik baik di daerah lain (Festival Kesenian Yogyakarta  dan Banyuwangi Festival – Red) yang berhasil menjadikan event publik sebagai arena pemberdayaan kolektif. Ia menyebut kota-kota dengan kultur event yang pro-rakyat umumnya sukses karena menyatukan hiburan dengan pembukaan akses ekonomi bagi masyarakat kecil.

“Kalau event sekadar euforia, itu hanya menguntungkan elite penyelenggara. Tapi kalau dirancang secara partisipatif, ia bisa membentuk solidaritas sosial sekaligus ekonomi,” jelasnya.

Ia juga mengkritik alokasi anggaran hiburan yang kerap lebih besar dibanding program pengentasan kemiskinan. Menurutnya, hal itu mencerminkan logika simbolik kekuasaan.

“Hiburan memang cepat terlihat hasilnya. Tapi kemiskinan itu perlu intervensi jangka panjang. Sayangnya, logika pencitraan sering lebih dominan,” kata Funco.

Dorong Pengawasan Publik

Di akhir pernyataannya, Funco menegaskan bahwa prioritas pembangunan daerah seharusnya berangkat dari komitmen struktural untuk menanggulangi kemiskinan.

“Pembangunan tidak boleh diukur dari seberapa meriahnya event publik, tapi dari seberapa besar kapital yang dihasilkan bisa dialokasikan untuk pendidikan, kesehatan, dan penciptaan lapangan kerja produktif,” pungkasnya.

Ia mengajak masyarakat sipil untuk aktif mengawasi penggunaan anggaran dan arah kebijakan agar relasi negara dengan masyarakat miskin tidak sekadar karitatif, melainkan transformatif.

Redaksi | Utinews.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *