Logo GHM 2025 Diduga Plagiat, Desainer Lokal Tawarkan Solusi Berkelas

Salah satu versi logo alternatif GHM 2025 hasil karya Zulfikar desainer muda Gorontalo. Foto : Doc Zulfikar.

Gorontalo, Utinews.id — Isu dugaan plagiat dalam logo resmi Gorontalo Half Marathon (GHM) 2025 menjadi pemantik gerakan kreatif di kalangan desainer lokal. Logo yang dirilis awal Juli lalu itu dinilai memiliki kemiripan mencolok dengan identitas visual milik Catalyst Central, sebuah lembaga di Australia. Sorotan publik pun tak terbendung, memunculkan keresahan sekaligus aksi nyata dari komunitas desain di Gorontalo.

Adalah Zulfikar, seorang desainer grafis muda di Gorontalo, alih-alih hanya melontarkan kritik, dia dan desainer lokal memilih untuk menunjukkan kapabilitas mereka melalui challenge internal: merancang versi alternatif logo GHM 2025.

Iklan Utinews.id

“Kami tidak ingin hanya dilihat sebagai pihak yang mengkritik. Maka kami sepakat membuat challenge internal antaranggota komunitas untuk merancang logo versi kami sendiri,” ujar Zulfikar salah satu desainer yang terlibat, kepada Utinews.id, Senin (21/7).

Langkah ini disebut sebagai bentuk edukasi publik bahwa Gorontalo memiliki banyak desainer berbakat yang siap bersaing secara sehat dan profesional. Tidak sekadar pamer karya, tapi juga sebagai tuntutan terhadap pelibatan kreator lokal sejak awal dalam proyek-proyek visual yang menyangkut identitas daerah.

Plagiat atau Kebetulan? Komunitas Menilai 99 Persen Mirip

Diskursus seputar dugaan plagiat logo GHM 2025 mengemuka setelah beredarnya hasil analisa visual yang membandingkan logo resmi dengan logo Catalyst Central. Dalam sejumlah konten edukatif yang dibuat Zulfikar bersama komunitas desainer, kemiripan antar elemen visual disebut terlalu signifikan untuk dianggap kebetulan.

“Saya pribadi ini plagiat karena kemiripannya bisa dibilang 99 persen. Kalau hanya kebetulan, seharusnya ada perbedaan signifikan. Tapi ini hanya beda di 1–2 persen garis saja. Komunitas menilai ini termasuk plagiat,” ungkapnya.

Terkait kemungkinan penggunaan logo alternatif oleh panitia GHM 2025, Zulfikar menyatakan terbuka. Namun ada prinsip yang tetap mereka jaga: penghargaan terhadap proses kreatif.

“Soal harga bukan yang utama. Tapi kalau digunakan, ini harus jadi momentum perubahan. Bahwa karya lokal layak dihargai dan dilibatkan sejak awal. Jangan sampai desainer hanya jadi pelengkap atau pengganti darurat,” tegasnya.

Meski polemik ini berawal dari keresahan, Zulfikar dan komunitas desain Gorontalo memilih menjadikan situasi ini sebagai panggung edukasi dan refleksi kolektif.

Mereka berharap agar momentum ini tidak berhenti pada kontroversi semata, tapi bisa menjadi titik balik pelibatan kreatif lokal dalam setiap agenda besar di daerah.

Redaksi | Utinews.id

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *