Utinews.id – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan untuk sebagian permohonan uji materiil Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas)—khususnya terkait frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” . Putusan ini dibacakan dalam Amar Putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Selasa (27/5/2025).
Mengutip laman resmi MK (mkri.id), Mahkamah menegaskan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah berkewajiban menjamin terselenggaranya pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik di sekolah Negeri maupun Swasta.
“Negara tidak boleh membedakan peserta didik berdasarkan jenis sekolah yang mereka akses. Kewajiban negara pembiayaan pendidikan dasar berlaku untuk semua, tanpa diskriminasi,” ujar Ketua MK Suhartoyo
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dalam pertimbangan hukumnya, menyatakan bahwa penerapan frasa tersebut hanya pada sekolah negeri menimbulkan kesenjangan akses pendidikan. Banyak peserta didik terpaksa menempuh pendidikan dasar di sekolah atau madrasah akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri, sebagaimana didalilkan para Pemohon.
Data tahun ajaran 2023/2024 mencatat, sekolah dasar negeri hanya mampu menampung 970.145 siswa, sedangkan sekolah dasar swasta menampung 173.265 siswa. Di tingkat SMP, sekolah negeri menampung 245.977 siswa, sementara swasta menampung 104.525 siswa.
“Artinya, masih banyak warga negara yang mengikuti pendidikan dasar di sekolah swasta karena tidak tersedianya ruang di sekolah negeri, dan mereka harus membayar biaya. Seharusnya tugas negara dapat memastikan bahwa anggaran pendidikan benar-benar dialokasikan secara efektif dan adil.” Ujar Enny Nurbaningsi.
Meski memperluas kewajiban negara dalam membiayai pendidikan dasar, MK tidak mutlak melarang semua sekolah swasta memungut biaya. Mahkamah memahami bahwa kemampuan fiskal negara masih terbatas dan terdapat sekolah swasta yang membiayai operasionalnya tanpa bantuan pemerintah.
Namun demikian, sekolah atau madrasah swasta yang menerima bantuan, seperti dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), harus menyusun skema pembiayaan yang adil dan memberi kemudahan bagi siswa, terutama di daerah yang tidak memiliki sekolah negeri atau madrasah yang dibiayai pemerintah.
“Uraian pertimbangan hukum tersebut di atas menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas frasa ‘wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya’ dalam norma Pasal 34 ayat (2) UU 20/2003, yang menurut para Pemohon menimbulkan multitafsir dan diskriminasi karena hanya berlaku untuk sekolah/madrasah negeri adalah beralasan menurut hukum,” papar Enny.
Putusan ini, menurut Mahkamah, membawa konsekuen hukum harus dilakukan pergeseran paradigma fokus anggaran untuk pendidikan dasar baik negeri maupun swasta. Oleh karena itu, dalam penggunaan anggaran APBN dan APBD untuk alokasi pendidikan harusnya memprioritaskan anggaran pendidikan dasar sebagaimana termaktub dalam Pasal 31 ayat (2) dan ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.
Mahkamah juga menyatakan bahwa hak atas pendidikan merupakan bagian dari hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob), yang dapat direalisasikan secara bertahap. Dengan keputusan ini, pemerintah pusat dan daerah diharapkan segera mengeluarkan kebijakan pembiayaan dasar pendidikan yang lebih adil dan merata.
Sebagai tambahan informasi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) diuji secara materiil ke MK. Permohonan perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) atau (Network Education Watch Indonesia/New Indonesia) bersama tiga Pemohon perorangan yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum.
Redaksi