Tsunami Tak Datang, Tapi Gelombang Lelucon Jadi Alarm Baru di Gorontalo

Utinews.id – Saat peringatan potensi tsunami diumumkan oleh BMKG usai gempa besar M8,7 di Kamchatka, Rusia, warga Gorontalo bereaksi cepat—tapi tidak selalu dengan cara yang lazim. Di tengah sirene dan kabar evakuasi, linimasa media sosial justru dipenuhi meme, candaan, hingga parodi digital.

Pakar sosiologi bencana Universitas Negeri Gorontalo, Dr. Funco Tanipu, menyebut fenomena ini sebagai “mitigasi lelucon” — tawa kolektif yang muncul sebagai cara masyarakat menanggapi ketakutan ketika sistem formal belum hadir secara kuat dalam kesadaran publik.

Iklan Utinews.id

“Warga lari ke bukit tanpa jalur evakuasi, sementara yang lain membuat meme lomba lari tsunami lengkap dengan hadiah BPJS. Ini bentuk coping mechanism yang mencerminkan lemahnya memori risiko,” ujar Funco dalam analisisnya.

Sejarah Panjang, Ingatan Pendek

Menurut catatan sejarah, wilayah Gorontalo sudah beberapa kali dilanda gempa besar dan tsunami sejak 1871 hingga 1939. Peristiwa 9 Januari 1917 bahkan menewaskan banyak orang akibat gelombang setinggi 3 meter. Namun, fakta sejarah ini seakan menguap dari memori kolektif.

“Catatan kolonial ada, data ilmiah lengkap, tapi narasi bencana tak pernah jadi bagian cerita sehari-hari masyarakat,” tambahnya.

Dari Peringatan ke Parodi

Peringatan BMKG pada Rabu (30/7) pagi seharusnya mendorong evakuasi terorganisir. Namun tanpa jalur jelas dan tanpa informasi dua arah, warga lebih memilih menanggapi dengan humor.

Berikut beberapa candaan yang sempat viral:

“Tsunami Half Marathon – kategori 5K dan 10K, hadiah: BPJS & uang tunai.”

“Seruan Aksi: Tolak Tsunami Datang di Gorontalo!”

“Tsunami ini bukan orang anyor eyi, tenang jo…”

Menurut Funco, lelucon ini berfungsi ganda: sebagai cara meredam kecemasan, sekaligus menutupi ketidaktahuan terhadap protokol keselamatan.

Humor: Sinyal Kesiapsiagaan yang Gagal?

Fenomena ini bukan hal sepele. Dalam teori risiko, dikenal istilah outrage — emosi kolektif yang muncul saat masyarakat menerima informasi ancaman yang tidak jelas. Ketika sistem gagal memberi panduan, masyarakat menciptakan makna sendiri. Dan di Gorontalo, makna itu hadir lewat tawa.

“Tawa ini bisa jadi jembatan masuk untuk membangun komunikasi risiko yang lebih inklusif, asalkan direspon dengan cerdas oleh pemerintah,” kata Funco.

Saatnya Jadikan Humor Sebagai Jembatan, Bukan Pengganti

Funco menyarankan agar pemerintah mulai menggabungkan pendekatan budaya lokal dalam edukasi kebencanaan. Meme dan cerita lokal bisa digunakan sebagai alat komunikasi risiko yang lebih dekat dengan masyarakat.

“Jangan lawan tawa dengan larangan. Gunakan ia sebagai pintu masuk, agar masyarakat sadar bahwa bencana itu nyata dan bisa dihadapi bersama.”

Penutup: Dari Gelombang Lelucon Menuju Gelombang Ketangguhan

Meski tsunami tak datang, Gorontalo sebenarnya sudah diguncang—oleh gelombang tawa yang menyimpan pesan penting: masih banyak pekerjaan rumah dalam membangun kesiapsiagaan berbasis sejarah, budaya, dan kepercayaan publik.

Redaksi | Utinews.id
Liputan Khusus | Sosiologi Bencana & Budaya Risiko

Catatan: Artikel ini merangkum analisis Dr. Funco Tanipu, Dosen Sosiologi Universitas Negeri Gorontalo, yang meneliti respons masyarakat terhadap peringatan tsunami dan sejarah gempa di wilayah Gorontalo.

Silahkan baca versi lengkapnya di https://utinews.id/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *